Suku Dani adalah sebuah suku yang mendiami satu wilayah di Lembah Baliem
yang dikenal sejak ratusan tahun lalu sebagai petani yang terampil dan
telah menggunakan alat/perkakas yang pada awal mula ditemukan diketahui
telah mengenal teknologi penggunaan kapak batu, pisau yang dibuat dari
tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu
galian yang terkenal sangat kuat dan berat. Suku Dani masih banyak
mengenakan koteka
(penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para
wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di honai-honai atau sering disebut gubuk yang beratapkan jerami/ilalang.
Ada apa dengan ritual Potong Jari di Suku Dani?
Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan
anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk
mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun berbeda
dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan
salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis,
tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang
meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku
Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong
jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan
anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya
untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa
seseorang di dalam keluarga yg berduka.
Bagi Suku Dani, jari bisa diartikan sebagai simbol kerukunan,
kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga,
walaupun dalam penamaan jari yang ada di tangan manusia hanya
menyebutkan satu perwakilan keluarga, yaitu ibu jari.
Akan tetapi jika dicermati perbedaan setiap bentuk dan panjang jari
memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan
semua beban pekerjaan manusia. Jari saling bekerjasama membangun sebuah
kekuatan sehingga tangan kita bisa berfungsi dengan sempurna. Kehilangan
salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan
kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah
komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainnya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik”
atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu
honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu
sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi
masyarakat pegunungan tengah Papua. Kesedihan mendalam dan luka hati
orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka
di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah
masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang
meninggal dunia. Tradisi potong jari di Papua sendiri dilakukan dengan berbagai banyak
cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau
parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga
putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti
dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari.
Selain tradisi pemotongan jari, di Papua juga ada tradisi yang dilakukan
dalam upacara berkabung. Beberapa sumber ada yang mengatakan Tradisi potong jari pada saat
ini sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya
belakangan ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di
sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun kita masih bisa menemukan
banyak sisa lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong
karena tradisi ini.
Salah satu tujuan wisata unggulan yang ada di Sulawesi Selatan
adalah Tana Toraja, karena selain letaknya yang berada di pegunungan,
Tana Toraja juga kaya akan berbagai tradisi dan kebudayaan. Salah satu
objek wisata di Tana Toraja yang sering dikunjungi wisatawan adalah Goa
Londa. Situs pemakaman goa Londa berlokasi di perbatasan antara daerah
Makale dan Rantepao. Untuk sampai ke lokasi, butuh waktu sekitar 6 jam
melalui perjalanan darat dari kota Makassar.
Memasuki kawasan
tersebut pengujung akan disambut sebuah gapura klasik, pada sisi-sisinya
dipenuhi ukiran khas Toraja, dan pada bagian sentralnya terdapat patung
kepala kerbau dengan tanduknya yang menjuntai. Londa merupakan sebuah
kawasan pemakaman kubur batu atau tempat menyimpan mayat yang
diperuntukkan khusus bagi leluhur Toraja dan keturunannya. Konon jauh
sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, di Tana Toraja sudah terdapat
kepercayaan warisan nenek moyang yang disebut Aluk Todolo atau Alukta.
Kepercayaan inilah yang kemudian menjadi landasan berbagai ritual adat
dan tradisi masyarakat Toraja.
Alukta pada dasarnya tidak
mengharuskan penyimpanan mayat, namun lebih kepada kewajiban segera
melaksanakan upacara pemakaman sebagai pelaksanaan aluk to mate
(memperlakukan orang yang telah mati). Karena semakin cepat jenazah
dimakamkan, akan semakin banyak kesempatan untuk melaksanakan upacara
pemberkatan lainnya.
Namun banyak alasan dan latar belakang
mengapa jenazah-jenazah tersebut harus disimpan terlebih dahulu ke dalam
goa dan liang-liang bukit. Alasan-alasan tersebut antara lain seperti
menunggu kedatangan kerabat yang sedang merantau, untuk memberi
kesempatan bagi keluarganya menunjukkan kasih sayang kepada jenazah,
atau untuk menunggu biaya dan hewan korban yang banyak terlebih dahulu
agar bisa melaksanakan upacara Rambu Solok (mengantarkan jenazah ke alam
yang disebut puya), dan berbagai alasan lain. Hingga akhirnya menyimpan
mayat menjadi sebuah tradisi di kalangan masyarakat adat Tana Toraja.
Awal Mula Tradisi Ma’nene
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong
Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk
kawasan hutan pegunungan Balla. Dikisahkan di tengah perburuan,
Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan jasad seseorang yang meninggal
dunia. Jasad itu tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat.
Kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati
Pong Rumasek tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan
baju yang dipakainya. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian
melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong
mengincar binatang buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk
buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek
pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen
lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya berlimpah. Sejak itu,
setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah orang mati yang
pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak berburu
menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad
orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya
tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis
panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan
Ma`nene, upacara pemakaman untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang
Pong Rumasek. Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga
dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene
menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.
Ketika
salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang
ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka
menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih
dianggap pasangan suami istri yang sah.Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual
Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan
satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin
hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada
setiap warga desa. Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan
adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda
seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan
menderita sakit berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja
diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan.
Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai
orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda
dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal
asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama
kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di
kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu,
sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu
dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan
konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari
langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia,
jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak
kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Seperti yang
dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga Tumonglo, ritual
Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, keluarga ini
sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan
memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar
masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan
setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka
sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang
diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba
saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah
kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah
nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun
lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling
bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong.
Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa
mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga
almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan
dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam itu berisi jasad
nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal
setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah
kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk
mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia
beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati
dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus
ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.
Di
desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan
Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan
Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat
dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah
tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Namun, kuburan yang dituju
bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu
atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur
mereka. Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi
jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu
dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa
hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur
masih ada untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad
orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para
sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak
ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil
menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun
dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini, keluarga Johanes pun
telah selesai melaksanakan amanah leluhur.